“Lebih baik bodoh tapi nurut, daripada pintar
tapi tidak nurut”
Ungkapan ini pernah suatu ketika terucap dari mulut seorang
pejabat di Lampung ini. Sederhana
tapi bermakna, slogan ringan namun sangat
mengesankan, kalimat yang implisit mengandung makna pelembagaan kebodohan dan
pelestarikan budaya ABS (asal Bapak Senang), di sisi lain betapa kompetensi tak
punya arti dan motivasi hanya sebatas
menyenangkan hati pejabat yang bersangkutan.
Ungkapan ini tentu sungguh di sayangkan, bila seorang pimpinan
sudah tidak memperhatikan dua hal ini (kompetensi dan motivasi). Mengingat dua
hal inilah yang kerap di jadikan dasar/alat oleh pemimpin di manapun dalam
memimpin para bawahannya. Mengingat staf
juga manusia yang mempunyai kemampuan dan kemauan yang berbeda-beda yang
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam hal pekerjaannya.
Kompetensi tentu tak dapat
di artikan sekedar berapa banyak title yang bersangkutan sandang, apalagi kalau
title/bidang ilmu yang bersangkutan memang tidak sejalan dengan bidang tugas
yang di kerjakannya, juga tidak dari kedekatan sampai-sampai ukurannya harus
ada hubungan tali persaudaraan karena dengan demikian diharapkan yang
bersangkutan akan mampu menyerap semua
ide dan gagasan sang pejabat. Tentu bukan pula dari seberapa besar frekweksi
bertatap muka lalu bertegor sapa, bukan dari berapa derajat menundukkan kepala
bila berpapasan, berapa kali kehadiran
saat di undang ada hajatan, seberapa
sering menyampaikan informasi saat di minta maupun tidak di minta, serta
kemampuan memberikan setoran saat pekerjaan/proyek usai. Tetapi sudah barang tentu bagaimana yang
bersangkutan mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil kerjanya
sesuai dengan indicator-indikator yang telah di tetapkan.
Motivasi kerja tentu tak
dapat di ukur dari tingkat kehadiran semata, berpenampilan rapi atau
menggunakan baju seragam yang telah di strika rapi licin mengkilat, bergegas
saat di undang rapat, dan bilang siap bila ada pekerjaan mendadak, tanpa melihat
sejauhmana kemauan yang bersangkutan
untuk dapat menyelesaikan persoalan demi persoalan dari pekerjaannya. Dalam hal ini yang terpenting tentu dorongan
yang bersangkutan untuk selalu berprestasi
dalam pekerjaannya tak lain.
Lalu, mungkinkah berharap
kompetensi akan lahir dari hanya mengandalkan arahan dan bimbingan semata?? Jawabnya tentu sangat
sulit. Mengingat volume dan jenis
pekerjaan yang sangat mustahil bisa di kuasai secara detail dan teknis, apalagi
keterbatasan waktu konsultasi dan atau koordinasi dengan sang pejabat juga terbatas. Begitu selanjutnya berharap motivasi kan lahir dari jiwa-jiwa tanpa pengetahuan
dan kemampuan?? Ntahlah sebab biasanya seseorang akan termotivasi untuk
melakukan pekerjaannya dengan baik bila ada keseimbangan antara hukuman dan
penghargaan atas apa yang telah di lakukan oleh yang bersangkutan. Pertanyaannya mungkinkah itu ada bila harus
nurut terus apa kata pimpinannnya.
Setelah kompetensi dan
motivasi pertanyaan selanjutnya adalah bahaya dan bagaimana pemimpin yang ideal
dalam kontek yang sedang kita bicarakan.. Untuk pertanyaan pertama; tentu hanya
waktu dan fakta yang bisa menjawabnya,,
bagaimana dan apa yang sedang terjadi di Lampung ini. Sudah kah kompetensi hadir di sana ?? dan
Benarkah semua pegawai kini
telah mempunyai motivasi tinggi
dalam menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaannya??? Terlaksananya program yang
telah di gariskan dengan baik dan terpenuhinya harapan rakyat terutama para Rumah Tangga Miskin (RTM) di Lampung tentu menjadi kesimpulan dari semua jawaban atas itu…
Sedangkan untuk pertanyaan
kedua; bicara ideal adalah bicara
kesempurnaan dan harapan, bicara kesempurnaan bukan kuasa manusia dan bicara
harapan adalah keselarasan. Sebab adanya
keselarasan antara pejabat dan dan bawahannya adalah modal dasar dalam
mensukseskan program-program yang telah di gariskan. Untuk itu Falsafah batu cincin; Bila batunya (baca;
pempimpin) adalah batu berkelas, maka pengingat/emban/gagang/tangkainya (baca;
staf/pembantu) cukup yang biasa saja. Tetapi sebaliknya bila batunya tidak
berkelas, maka pengikat/emban/gagang/tangkainya harus yang berkelas (M.A.P
GS/BL 2008) seperti patut jadi
pertimbangan dan perenungan.
Falsafah batu cincin
mengisaratkan bahwa harus ada keserasian yang saling melengkapi dari yang di
pimpin dan yang memimpin, dengan demikian akan terjadi saling melengkapi. Namun sebelum itu terjadi pemimpin yang
bersangkutan harus memberi tauladan kepada yang di pimpinnya dengan kesadaran
kritis dan bukan sedekar nurut.
Pemimpin yang memiliki teladan pasti
akan mencetak pemimpin baru bukan sekedar pengikut yang hanya bisa nurut tanpa
merasa harus disaingi. Baginya bukan "macho" yang penting (hal- hal
yang bersifat kewenangan, kekuasaan, dan asesoris jabatan yang dipegangnya), melainkan
"maestro" yang paling utama (bisa tidak, ia mengerjakan pekerjaan
yang dibebankan pada dirinya).
"Ada ungkapan yang menyatakan
bahwa apa yang tidak anda hargai, tidak akan dihargai, bahwa apa yang tidak
anda ingat tidak akan diingat, bahwa apa yang tidak anda ubah tidak akan
berubah, bahwa apa yang tidak anda kerjakan tidak akan dikerjakan. Pertanyaan
sesunguhnya, bukanlah soal apa yang harus diperbuat, melainkan sekadar kemauan
untuk melakukannya"-Alexander M.Sauders Jr-
Pemimpin yang mampu memberikan teladan
tidak hanya memikirkan keselamatan posisinya sendiri kini dan dan akan datang,
di atas semua itu ia akan selalu mengembangkan timnya agar lebih produktif
lagi, jika timnya gagal mencapai target kerja yang sudah disepakati ia juga
tidak sungkan-sungkan untuk mengundurkan diri dari posisi yang ia duduki dan
atau tidak memintak/mengajukan/mencalonkan diri kembali, jika memang ia gagal
memimpin timnya dengan baik. Semoga
Bandarlampung, 24
September 2009
Ali Rukman