BREAKING
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 September 2014

Balada Batu, Sepatu, dan Susu

Bapak Sarpani/BP-UPK Kecamatan Way Tenong Kabupaten Lampung Barat















Andaikan dikasih tahu
Sudah tentu aku tahu
jalankan program itu
Ini cita-cita pemimpinku

Rakyat makmur menyatu
Membangun Negeriku
Indonesia menuju maju
Bank Dunia Ikut Membantu

Sudah triliyunan uang itu
Disalurkan untuk program itu
Pekonpun terbantu
Jalanpun sudah pake batu

Pekonpun sangat terbantu
Hubungan transportasi Lancar sudah tentu
Tak lagi seperti dulu
Hujan turun berhentilah disitu

Ibu-ibu kita bantu
Di Kelompok SPP ibu-ibu
Dikelola mendapat untung sudah tentu
Bisa beli baju dan beli susu

Tak ketinggalan bayi yang lucu
Tangis senyum bayi sangat mengharu
Menggugah sang ibu agar dia dibelikan susu.

Rabu, 24 September 2014

Satu Diantara Dua Pilihan



Ingin kubuka semua mata
Melihat sebuah realita
dimana masalah tak lagi berbuah susah
ketika takut tak lagi berbuah gelisah
disini kami katakan mandiri bukan lagi janji..

Bagiku hanya ada dua pilihan yang selalu tampak;
Iya dan Tidak,
Hidup dan Kehidupan,
Benar atau salah
Baik atau buruk.
Arah kiri atau kanan
Laki-laki atau perempuan
Kini atau tidak selamanya….

@Tim

Minggu, 16 Februari 2014

Tentang Harapan dan Sepotong Cinta




Kita adalah rakit dengan dayung terlepas
Sementara perjalanan belum nampak suar
Sebuah mimpi yang tertunda
Mimpi yang pernah kita susun bersama

Lewat siang tadi,
Kita pandang sepi pada buruk rakit dengan airmata
Lalu, perlahan-lahan kita coret masa depan
Seolah kita hanya punya satu sampan
Sampan harapan

Bukankah Maha Kuasa di pihak kita?


Minggu siang. Selesai sudah pekerjaan rutinku selaku upik abu. Membereskan cucian, mengepel lantai, dan memasak ala kadarnya. Merebahkan diri di sofa panjang sambil menikmati denting Yiruma pada cuaca cerah begini, adalah hal mahal yang sulit kudapatkan. Bahkan pada akhir pekan.
            Namun bayangan kenikmatan mahal itu buyar, beberapa menit setelah ponselku bordering. Salah seorang kepala desa yang kerap berulah di lokasi tugas, berhasil membuat bingkai siangku sedikit retak. Huuftt…ini hari Minggu, Pak…tak bolehkan aku beristirahat sejenak dari segala keinginan dan nafsu yang merajam?
Setelah bertahun aku yakini jalan yang kutapaki, kali ini keyakinan itu menguap entah kemana.. Jauh disudut tersembunyi, aku merasakan jarum kebencian menusuk, perih dihatiku. Aku marah. Merasa sudah melakukan banyak hal yang sia-sia. Merasa keperdulianku selama ini diabaikan. Merasa tak dihargai dengan waktu, tenaga, pikiran, dan cinta yang kuberikan.
Ya, tidak kah kalian mengerti? Aku bertahan disini karena cinta? Sesulit apapun, meski terbentur-bentur dan lebam-lebam, aku mencintai kalian. Aku perduli pada kalian. Ini bukan sekedar pekerjaan. Bukan juga sekedar uang yang aku dapatkan sebagai imbalan atas pendampinganku. Ini jauh di atas itu. Mengertilah.
Pekerjaan adalah ibadah. Namun jika ada terbersit kebencian disana, bagaimana menjadi ibadah?
            Sekali ini, aku merasa kalah. Terpuruk. Selesai sudah.
Dan aku mulai menangis.
Benarkah sekarang saatnya melepaskan? Mungkin ini bukan jalanku, meski aku mencintainya.
Tak tahan dengan sesak yang ada, aku hubungi satu-persatu orang yang bisa kuajak bicara. Salah seorang UPK, TPK, dan kepala desa.
            Kusampaikan keadaan yang ada di kecamatan. Tentang beberapa orang yang berusaha melemahkan kekuatan. Mencerai-beraikan kebersamaan. Dan sedikit luka yang aku rasakan.
Mereka mendengarkan. Menyimak. Kemudian memberikanku sedikit kelegaan. Juga dukungan.
            Kawan-kawan yang selama ini bersamaku, bagaimana bisa, tadi aku sempat menyisipkan benci? Bagaimana mungkin aku hendak berbalik arah dan berlari dari masyarakat yang selama ini mendengarkanku? Kepada mereka aku tiupkan semangat kemandirian dan keberdayaan. Sekaligus kepada mereka juga aku belajar makna kerja keras, ketulusan, dan rendah hati.
            Batinku menolak untuk kalah. Aku bukan pecundang. Aku tak akan menyerah hanya karena satu-dua masalah yang menghadang. Atau karena satu-dua orang yang tak paham.
            Maka aku mengingat lagi sebuah mitologi Yunani yang aku sukai. Tentang kotak Pandora. Ketika dia membuka kotak hadiah bagi suaminya, maka beterbanganlah segala hal buruk ke dunia, kecuali harapan. Karena Pandora keburu menutup kotak itu. Pandora, yang sengaja diciptakan untuk menghukum dunia itu, tak menghendaki manusia selamat. Pandora tahu, harapan adalah obat manjur bagi manusia yang didera berbagai masalah.
            Banyak memang yang harus kuselesaikan. Maka aku harus menjaga harapan tetap ada. Tak ada masalah yang tak bisa selesai, selama aku tetap menggenggam harapan.
            Pemberdayaan adalah kalimat yang indah. Keindahan itu nyata dengan warna-warni masalahnya. Ketika warna yang ada hanya satu, dua, atau tiga, bukankah keindahan itu pun tak akan paripurna? Jadi, jangan pernah tutup segala masalah dengan “titik”, sebab kehidupan pada dasarnya terus bersambung. Barangkali cukuplah akhiri dengan “koma”, sebab yang manis, ada kemungkinan tidak terus manis. Tapi yang pahit pasti dapat diupayakan untuk menjadi manis.
            Apalagi, akhir dari dongeng Yunani tersebut, akhirnya Pandora bersedia membuka kotaknya lagi, sehingga “Sang Harapan” pun bebas melayang.
Kawan, ketika harapan itu melayang, segera raih dan tangkaplah. Karena harapan lebih kuat ketimbang semua masalah di dunia.  (Ratna Juwita/FK Kecamatan Labuhan Maringgai Lam-Tim)

Senin, 03 Februari 2014

Jalan


Oleh: Ali Rukman
 

JALAN telah membawa kita pada pilihan.
JALAN mempertemukan dan memisahkan persilangan.
JALAN mengukir derap yang mensejarah.
JALAN memuat sketsa langkah-langkah.
JALAN walau berpindah tapi maknanya tak berubah.
JALAN dari nol menuju nol.
JALAN media abdi dan pengabdian..
JALAN garis hidup dan kehidupan.