Kita adalah rakit
dengan dayung terlepas
Sementara perjalanan
belum nampak suar
Sebuah mimpi yang
tertunda
Mimpi yang pernah kita
susun bersama
Lewat siang tadi,
Kita pandang sepi pada
buruk rakit dengan airmata
Lalu, perlahan-lahan
kita coret masa depan
Seolah kita hanya punya
satu sampan
Sampan harapan
Bukankah Maha Kuasa di
pihak kita?
Minggu siang. Selesai
sudah pekerjaan rutinku selaku upik abu.
Membereskan cucian, mengepel lantai, dan memasak ala kadarnya. Merebahkan diri
di sofa panjang sambil menikmati denting Yiruma pada cuaca cerah begini, adalah
hal mahal yang sulit kudapatkan. Bahkan pada akhir pekan.
Namun
bayangan kenikmatan mahal itu buyar, beberapa menit setelah ponselku bordering.
Salah seorang kepala desa yang kerap berulah di lokasi tugas, berhasil membuat
bingkai siangku sedikit retak. Huuftt…ini
hari Minggu, Pak…tak bolehkan aku beristirahat sejenak dari segala keinginan
dan nafsu yang merajam?
Setelah bertahun aku
yakini jalan yang kutapaki, kali ini keyakinan itu menguap entah kemana.. Jauh
disudut tersembunyi, aku merasakan jarum kebencian menusuk, perih dihatiku. Aku
marah. Merasa sudah melakukan banyak hal yang sia-sia. Merasa keperdulianku
selama ini diabaikan. Merasa tak dihargai dengan waktu, tenaga, pikiran, dan
cinta yang kuberikan.
Ya, tidak kah kalian
mengerti? Aku bertahan disini karena cinta? Sesulit apapun, meski
terbentur-bentur dan lebam-lebam, aku mencintai kalian. Aku perduli pada
kalian. Ini bukan sekedar pekerjaan. Bukan juga sekedar uang yang aku dapatkan
sebagai imbalan atas pendampinganku. Ini jauh di atas itu. Mengertilah.
Pekerjaan adalah
ibadah. Namun jika ada terbersit kebencian disana, bagaimana menjadi ibadah?
Sekali
ini, aku merasa kalah. Terpuruk. Selesai sudah.
Dan aku mulai
menangis.
Benarkah
sekarang saatnya melepaskan? Mungkin ini bukan jalanku, meski aku mencintainya.
Tak tahan dengan sesak
yang ada, aku hubungi satu-persatu orang yang bisa kuajak bicara. Salah seorang
UPK, TPK, dan kepala desa.
Kusampaikan
keadaan yang ada di kecamatan. Tentang beberapa orang yang berusaha melemahkan
kekuatan. Mencerai-beraikan kebersamaan. Dan sedikit luka yang aku rasakan.
Mereka mendengarkan.
Menyimak. Kemudian memberikanku sedikit kelegaan. Juga dukungan.
Kawan-kawan
yang selama ini bersamaku, bagaimana bisa, tadi aku sempat menyisipkan benci? Bagaimana
mungkin aku hendak berbalik arah dan berlari dari masyarakat yang selama ini
mendengarkanku? Kepada mereka aku tiupkan semangat kemandirian dan keberdayaan.
Sekaligus kepada mereka juga aku belajar makna kerja keras, ketulusan, dan
rendah hati.
Batinku
menolak untuk kalah. Aku bukan pecundang. Aku tak akan menyerah hanya karena
satu-dua masalah yang menghadang. Atau karena satu-dua orang yang tak paham.
Maka
aku mengingat lagi sebuah mitologi Yunani yang aku sukai. Tentang kotak
Pandora. Ketika dia membuka kotak hadiah bagi suaminya, maka beterbanganlah
segala hal buruk ke dunia, kecuali harapan. Karena Pandora keburu menutup kotak
itu. Pandora, yang sengaja diciptakan untuk menghukum dunia itu, tak
menghendaki manusia selamat. Pandora tahu, harapan adalah obat manjur bagi
manusia yang didera berbagai masalah.
Banyak
memang yang harus kuselesaikan. Maka aku harus menjaga harapan tetap ada. Tak
ada masalah yang tak bisa selesai, selama aku tetap menggenggam harapan.
Pemberdayaan
adalah kalimat yang indah. Keindahan itu nyata dengan warna-warni masalahnya.
Ketika warna yang ada hanya satu, dua, atau tiga, bukankah keindahan itu pun
tak akan paripurna? Jadi, jangan pernah tutup segala masalah dengan “titik”, sebab kehidupan pada dasarnya
terus bersambung. Barangkali cukuplah akhiri dengan “koma”, sebab yang manis, ada kemungkinan tidak terus manis. Tapi
yang pahit pasti dapat diupayakan untuk menjadi manis.
Apalagi,
akhir dari dongeng Yunani tersebut, akhirnya Pandora bersedia membuka kotaknya
lagi, sehingga “Sang Harapan” pun bebas melayang.
Kawan, ketika harapan itu melayang, segera raih dan
tangkaplah. Karena harapan lebih kuat
ketimbang semua masalah di dunia. (Ratna Juwita/FK
Kecamatan Labuhan Maringgai Lam-Tim)