BREAKING
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Juni 2014

Falsafah Batu Cincin




 “Lebih baik bodoh tapi nurut, daripada pintar tapi tidak nurut”

Ungkapan  ini pernah suatu ketika terucap dari mulut seorang pejabat di Lampung ini.  Sederhana
 tapi bermakna, slogan ringan namun sangat mengesankan, kalimat yang implisit mengandung makna pelembagaan kebodohan dan pelestarikan budaya ABS (asal Bapak Senang), di sisi lain betapa kompetensi tak punya arti  dan motivasi hanya sebatas menyenangkan hati pejabat yang bersangkutan. 

Ungkapan ini tentu  sungguh di sayangkan, bila seorang pimpinan sudah tidak memperhatikan dua hal ini (kompetensi dan motivasi). Mengingat dua hal inilah yang kerap di jadikan dasar/alat oleh pemimpin di manapun dalam memimpin para bawahannya.  Mengingat staf juga manusia yang mempunyai kemampuan dan kemauan yang berbeda-beda yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam hal pekerjaannya.

Kompetensi tentu tak dapat di artikan sekedar berapa banyak title yang bersangkutan sandang, apalagi kalau title/bidang ilmu yang bersangkutan memang tidak sejalan dengan bidang tugas yang di kerjakannya, juga tidak dari kedekatan sampai-sampai ukurannya harus ada hubungan tali persaudaraan karena dengan demikian diharapkan yang bersangkutan  akan mampu menyerap semua ide dan gagasan sang pejabat. Tentu bukan pula dari seberapa besar frekweksi bertatap muka lalu bertegor sapa, bukan dari berapa derajat menundukkan kepala bila berpapasan,  berapa kali kehadiran saat di undang ada hajatan,  seberapa sering menyampaikan informasi saat di minta maupun tidak di minta, serta kemampuan memberikan setoran saat pekerjaan/proyek usai.  Tetapi sudah barang tentu bagaimana yang bersangkutan mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil kerjanya sesuai dengan indicator-indikator yang telah di tetapkan. 

Motivasi kerja tentu tak dapat di ukur dari tingkat kehadiran semata, berpenampilan rapi atau menggunakan baju seragam yang telah di strika rapi licin mengkilat, bergegas saat di undang rapat, dan bilang siap bila ada pekerjaan mendadak, tanpa melihat sejauhmana kemauan  yang bersangkutan untuk dapat menyelesaikan persoalan demi persoalan dari pekerjaannya.  Dalam hal ini yang terpenting tentu dorongan yang bersangkutan untuk selalu berprestasi  dalam pekerjaannya tak lain.

Lalu, mungkinkah berharap kompetensi akan lahir dari hanya mengandalkan arahan  dan bimbingan semata?? Jawabnya tentu sangat sulit.  Mengingat volume dan jenis pekerjaan yang sangat mustahil bisa di kuasai secara detail dan teknis, apalagi keterbatasan waktu konsultasi dan atau koordinasi  dengan sang pejabat juga terbatas.  Begitu selanjutnya berharap motivasi  kan lahir dari jiwa-jiwa tanpa pengetahuan dan kemampuan?? Ntahlah sebab biasanya seseorang akan termotivasi untuk melakukan pekerjaannya dengan baik bila ada keseimbangan antara hukuman dan penghargaan atas apa yang telah di lakukan oleh yang bersangkutan.  Pertanyaannya mungkinkah itu ada bila harus nurut terus apa kata pimpinannnya.
     
Setelah kompetensi dan motivasi pertanyaan selanjutnya adalah bahaya dan bagaimana pemimpin yang ideal dalam kontek yang sedang kita bicarakan.. Untuk pertanyaan pertama; tentu hanya waktu dan fakta yang bisa  menjawabnya,, bagaimana dan apa yang sedang terjadi di Lampung ini.  Sudah kah kompetensi hadir di sana ?? dan Benarkah semua pegawai kini  telah mempunyai motivasi  tinggi dalam menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaannya??? Terlaksananya program yang telah di gariskan dengan baik dan terpenuhinya harapan rakyat terutama para Rumah Tangga Miskin (RTM) di Lampung tentu menjadi kesimpulan dari semua jawaban atas itu…

Sedangkan untuk pertanyaan kedua;  bicara ideal adalah bicara kesempurnaan dan harapan, bicara kesempurnaan bukan kuasa manusia dan bicara harapan adalah keselarasan.  Sebab adanya keselarasan antara pejabat dan dan bawahannya adalah modal dasar dalam mensukseskan program-program yang telah di gariskan. Untuk itu  Falsafah batu cincin; Bila batunya (baca; pempimpin) adalah batu berkelas, maka pengingat/emban/gagang/tangkainya (baca; staf/pembantu) cukup yang biasa saja. Tetapi sebaliknya bila batunya tidak berkelas, maka pengikat/emban/gagang/tangkainya harus yang berkelas (M.A.P GS/BL 2008)  seperti patut jadi pertimbangan dan perenungan.

Falsafah batu cincin mengisaratkan bahwa harus ada keserasian yang saling melengkapi dari yang di pimpin dan yang memimpin, dengan demikian akan terjadi saling melengkapi.  Namun sebelum itu terjadi pemimpin yang bersangkutan harus memberi tauladan kepada yang di pimpinnya dengan kesadaran kritis dan bukan sedekar nurut.

Pemimpin yang memiliki teladan pasti akan mencetak pemimpin baru bukan sekedar pengikut yang hanya bisa nurut tanpa merasa harus disaingi. Baginya bukan "macho" yang penting (hal- hal yang bersifat kewenangan, kekuasaan, dan asesoris jabatan yang dipegangnya), melainkan "maestro" yang paling utama (bisa tidak, ia mengerjakan pekerjaan yang dibebankan pada dirinya).

"Ada ungkapan yang menyatakan bahwa apa yang tidak anda hargai, tidak akan dihargai, bahwa apa yang tidak anda ingat tidak akan diingat, bahwa apa yang tidak anda ubah tidak akan berubah, bahwa apa yang tidak anda kerjakan tidak akan dikerjakan. Pertanyaan sesunguhnya, bukanlah soal apa yang harus diperbuat, melainkan sekadar kemauan untuk melakukannya"-Alexander M.Sauders Jr-

Pemimpin yang mampu memberikan teladan tidak hanya memikirkan keselamatan posisinya sendiri kini dan dan akan datang, di atas semua itu ia akan selalu mengembangkan timnya agar lebih produktif lagi, jika timnya gagal mencapai target kerja yang sudah disepakati ia juga tidak sungkan-sungkan untuk mengundurkan diri dari posisi yang ia duduki dan atau tidak memintak/mengajukan/mencalonkan diri kembali, jika memang ia gagal memimpin timnya dengan baik. Semoga


Bandarlampung, 24 September 2009
Ali Rukman