BREAKING

Kamis, 10 April 2014

Pak Rejo




Pak Rejo
Bapak Rejo atau Pakde Rejo begitu tetangga memanggilnya, Bapak dua anak yang dilahirkan di Banyuwangi Jawa Timur pada tanggal 20 Agustus 1955 ini sepintas lalu tidak mengesankan apa-apa selain petani pekebun  pada umumnya.  Memang,  untuk ukuran petani di sekelilingnya rumah  pakde Rejo yang berukuran 12 x 7 meter berdinding tembok berlantai keramik dan beratap asbes tentu mewah.  Tetapi lelaki yang kesehariannya mengisi hari-harinya dengan berangkat  kesawah atau mencari rumput untuk ke empat ekor sapi peliharaannya ini mengaku bahwa rumah yang ia tempati masih tergolong rumah sederhana  untuk ukuran yang sebenarnya.  Kalaupun dibuat agak besar dibandingkan kebanyakan rumah tetangganya di Pemangku/Dusun Selipas Kel Way Mengaku Kecamatan Balik Bukit Lampung Barat itu  karena beliau berharap rumah ini menjadi tempat berkumpul  seluruh anggota keluarganya.
Awalnya ketika tim berkunjung ke kediaman pak Rejo suatu sore,  dibukakan pintu lalu memperkenalkan diri  dan menyampaikan maksud kedatangan untuk sekedar ngobrol-ngobrol tentang wakaf tanah yang pernah beliau berikan untuk kegiatan pembangunan jalan rabat beton PNPM-MPd TA. 2013 di Pemangku Sumberejo Pakde Rejo terkesan menghindar, menurut beliau apa yang sudah beliau perbuat tidak perlu disebarluaskan karena semuanya dilakukan dengan ikhlas.  Namun setelah beberapa kali tim memberi penjelasan bahwa tidak ada maksud untuk ria/pamer tetapi lebih untuk memotivasi masyarakat tentang arti pentingnya ketauladan ahirnya beliau bersedia  untuk berbagi cerita. 
Seiring bergeraknya sang surya ke ufuk barat dalam suasana yang penuh kekeluargaan sesekali angin lembah dingin meniup menerpa wajah sesaat terhanyut dalam cerita sejarah hidup Pakde Rejo, Pahit getir perjalanan hidup yang dirintis dengan berprofesi sebagai buruh upahan metik kopi di era 1990 di daerah Pajar Bulan Kec Way Tenong hasilnya Rp 25.000,- dikirim ke Lampung Timur untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan dua anaknya.   Lalu seolah ada yang menuntun beliau berjalan sampai ke Simpang Serdang Way Mengaku untuk menjadi buruh coret dan manul atau ojek punggung/kuli panggul, sampai akhirnya mendapat kepercayaan untuk mengurus kebon seluas 1 HA dengan sistem bagi hasil kopi tetapi untuk tanaman sayur mayur si pemilik tanah tidak pernah menuntut/mempersoalkan,   atau  dengan kata lain semua terserah dengan pak Rejo; kalau mau di kasih ya mareka terima dan kalau tidak juga tida apa-apa.  Semua adalah perjalanan hidup yang akan selalu menghiasi relung hati Pak Rejo.  Setelah mendapat kepercayaan itulah  dengan bermodalkan keyakinan Pak Rejo lalu memboyong anak istrinya dari Lampung Timur ke Slipas atau tempat saat ini pak Rejo terus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup.  
Setiap perjuangan pasti akan menemukan hasilnya bila bersungguh-sungguh, begitu pak Rejo melanjutkan ceritanya. Dan  pada tahun 1994 kebun yang Pak Rejo urus mulai menampakkan hasil, namun cobaan untuk Pak Rejo rupanya belum berakhir,  gempa Liwa berkekuatan 6,5 skala ricter hampir membuyarkan segalanya.  Melihat kondisi Lampung Barat yang porak poranda, selalu tergiang tangis pilu para tetangga yang menjadi korban gempasempat terucap dari mulut Pak Rejo untuk meninggalkan Liwa atau kembali ke Lampung Timur dengan kembali hidup tanpa memiliki apa-apa berjuang dari awal lagi, tetapi pemilik lahan tidak setuju niat tersebut  dan menasehati pak Rejo.  Si pemilik lahan mengatakan ini tinggal menikmati hasilnya dari perjuangan panjangmu membuka dari belukar, siang malam engkau rawat tanaman itu dengan makan dan tidur seadanya bersama anak istrimu kok malah mau ditinggalkan.  Lalu dengan  berbagai petimbangan dan juga nasehat dari berbagai pihak ahirnya Pak Rejo memutuskan untuk tetap di Sumberejo Slipas ini.   Tuhan selalu memberi jalan setiap mahluknya yang mau berusaha begitu keyakinan pak Rejo lagi,  pilihan untuk tetap melanjutkan usaha ternyata tak sia-sia; setelah ditelateni dari hasil  beberapa kali panen  Pak Rejo bisa membeli  tahan 2 Ha yang kemudian ditukarkan dengan sebidang sawah kira-kira seluar 0,5 yang hari ini beliau urus. Pada tahun 1997 catatan baru bagi pak Rejo karena bisa membangun rumah yang ia dan keluarganya tempati hari ini.  Sementara lahan 1 Ha yang awalnya  diurus oleh Pak Rejo sebagai modal awal memasuki Slipas kini di urus oleh anaknya.  Karena ketika hendak di kembalikan ke pemiliknya mareka menolak, dan berharap pak Rejo sebagai pengelola atau setidaknya penanggungjawabnya sampai kapanpun.
Perjalanan hidup yang dirasa pahit, bukanlah untuk dihindari tetapi harus dijalani dengan banyak-banyak bersyukur.  Untuk menambah energi dalam setiap memulai pekerjaan kerapkali pak Rejo bernazar yang isinya  apabila suatu pekerjaan  selesai dan ada hasilnya beliau akan beramal.  Dan dalam rangka beramal,  dari penelusuran tim  tersebutlah beberapa bidang tanah yang telah  diwakafkan oleh Pak Rejo untuk kepentingan umum  disekitar tempat tinggalnya yaitu:
1.         Tahun 1999 pak Rejo mewakafkan tanah berukuran 13 x 25 M2  (senilai Rp 5 Juta) untuk tempat pembangunan Musholla di Pemangku Pantau Keluarahan Way Mengaku.
2.         Tahun 2000 Pak Rejo mewakafkan tanah  berukuran 30 x 40 M2 (senilai 25 Juta) untuk tempat pembangunan Masjid di Sumberejo Slipas Kelurahan Way Mengaku.
3.         Tahun 2003 Pak Rejo mewakafkan tanah berukuran 20 x 60 M2 (senilai 30 Juta) untuk tempat pemakaman umum di Sumberjo Slipas Keluarahan Way Mengaku.
4.         Tahun 2013 tanah berukuran 2,5 x 20 (senilai 11 Juta) untuk dijadikan jalan atau tempat di bangunnya jalan rabat beton kegiatan PNPM-MPd Keluarahan Way Mengaku TA. 2013.

Ketika tim menanyakan apakah pihak keluarga tidak keberatan dengan apa yang dilakukan pak Rejo, mengingat bahwa pak Rejo sendiri  bukan tergolong orang yang memiliki tanah yang luas.  Beliau menjawab semua keluarga mendukung, semua mendukung saya seraya mengakatan mumpung kita masih bernyawa berbuatlah untuk orang banyak semoga kita dapat manfaatnya di akherat.   Walaupun dari pengakuannya tidak tamat SD dan belum pernah hatam Al-quran bagi pak Rejo pesan orang tua yang mengatakan agar selalu beramal  harus di tunjukkan dan tercermin dalam kehidupannya.  Sebagai kepala lingkungan yang dipercaya oleh masyarakatnya sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu Pak Rejo tidak sedikitpun memperlihatkan tingkah laku ria/pamer, bahkan bila ada kesempatan untuk menolong. Maka pilihan untuk menolong itu jalan yang beliau pilih.  Semisal pembagian beras untuk rumah tangga miskin (Raskin)  saat mengambil beras ke kelurahan pak Rejo selalu membayar terlebih dahulu, baru kemudian ketika beras sampai di rumah, pak Rejo akan berkeliling untuk menyampaikan kepada warga agar mengambil beras tersebut  dengan harga sesuai ketentuan pemerintah.  Bila ada warga yang benar-benar tidak ada uang maka pak Rejo mempersilakan untuk untuk tetap mengambil  beras asalkan berterus terang.  
Rumah Pak Rejo dibangun  dari bagi hasil berkebun kopi dan menanam sayuran

Kembali ke masalah wakaf tanah,  lagi-lagi bahwa tanah tersebut bukan dari kelebihan luas atau diambil dari tanah pak Rejo yang sudah ada,  tetapi didapat dengan membeli yang uangnya berasal dari hasil panen sayuran atau sekedar tabungan dari hasil beliau upahan.  Khusus untuk tanah yang terakhir diwakafkan itu di dapat dari tabungan 1 juta dan hasil penjualan sapi peliharaan  seharga10 Juta semuanya untuk membayar tanah yang akan di jadikan jalan lingkungan. Mengakhiri obrolan dengan tim, pak Rejo berucap semoga apa yang beliau lakukan akan membawa manfaat bagi masyarakat dan menjadi amal beliau di akherat.  Kalau suatu saat saya telah tiada saya berharap apa yang sudah saya lakukan bermanfaat.   Kata pak Rejo menutup obrolan ... Makasih Pak Rejo pelajaran untuk terus berjuang, selalu berbagi, dan ikhlas telah kau sampaikan pada kami, semoga ini memberi motivasi..   (Tim)