![]() | |
Pak Rejo |
Bapak Rejo atau Pakde Rejo begitu tetangga memanggilnya,
Bapak dua anak yang dilahirkan di Banyuwangi Jawa Timur pada tanggal 20 Agustus
1955 ini sepintas lalu tidak mengesankan apa-apa selain petani pekebun pada umumnya.
Memang, untuk ukuran petani di
sekelilingnya rumah pakde Rejo yang berukuran
12 x 7 meter berdinding tembok berlantai keramik dan beratap asbes tentu
mewah. Tetapi lelaki yang kesehariannya
mengisi hari-harinya dengan berangkat kesawah atau mencari rumput untuk ke empat
ekor sapi peliharaannya ini mengaku bahwa rumah yang ia tempati masih tergolong
rumah sederhana untuk ukuran yang
sebenarnya. Kalaupun dibuat agak besar
dibandingkan kebanyakan rumah tetangganya di Pemangku/Dusun Selipas Kel Way
Mengaku Kecamatan Balik Bukit Lampung Barat itu karena beliau berharap rumah ini menjadi
tempat berkumpul seluruh anggota
keluarganya.
Awalnya ketika tim berkunjung ke kediaman pak Rejo suatu sore, dibukakan pintu lalu memperkenalkan
diri dan menyampaikan maksud kedatangan
untuk sekedar ngobrol-ngobrol tentang wakaf tanah yang pernah beliau berikan untuk
kegiatan pembangunan jalan rabat beton PNPM-MPd TA. 2013 di Pemangku Sumberejo
Pakde Rejo terkesan menghindar, menurut beliau apa yang sudah beliau perbuat
tidak perlu disebarluaskan karena semuanya dilakukan dengan ikhlas. Namun setelah beberapa kali tim memberi
penjelasan bahwa tidak ada maksud untuk ria/pamer tetapi lebih untuk memotivasi
masyarakat tentang arti pentingnya ketauladan ahirnya beliau bersedia untuk berbagi cerita.
Seiring bergeraknya sang surya ke ufuk barat dalam suasana yang penuh kekeluargaan sesekali angin lembah dingin meniup menerpa wajah sesaat terhanyut dalam cerita sejarah
hidup Pakde Rejo, Pahit getir perjalanan hidup yang dirintis dengan berprofesi sebagai buruh upahan metik
kopi di era 1990 di daerah Pajar Bulan Kec Way Tenong hasilnya Rp 25.000,- dikirim ke Lampung Timur untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan dua anaknya. Lalu seolah ada yang menuntun beliau berjalan sampai ke Simpang Serdang Way Mengaku untuk menjadi buruh coret dan manul atau ojek punggung/kuli panggul, sampai akhirnya mendapat kepercayaan untuk mengurus kebon
seluas 1 HA dengan sistem bagi hasil kopi tetapi untuk tanaman sayur mayur si
pemilik tanah tidak pernah menuntut/mempersoalkan, atau dengan kata lain semua terserah dengan pak
Rejo; kalau mau di kasih ya mareka terima dan kalau tidak juga tida apa-apa. Semua adalah perjalanan hidup yang akan selalu menghiasi relung hati Pak Rejo. Setelah mendapat kepercayaan itulah dengan bermodalkan keyakinan Pak Rejo lalu memboyong anak istrinya dari Lampung Timur ke
Slipas atau tempat saat ini pak Rejo terus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Setiap perjuangan pasti akan menemukan hasilnya bila bersungguh-sungguh, begitu pak Rejo melanjutkan ceritanya. Dan pada tahun 1994 kebun yang Pak Rejo urus mulai menampakkan hasil, namun cobaan untuk Pak Rejo rupanya belum berakhir, gempa Liwa berkekuatan 6,5 skala ricter hampir membuyarkan segalanya. Melihat kondisi Lampung Barat yang porak poranda, selalu tergiang tangis pilu para tetangga yang menjadi korban gempa, sempat terucap dari mulut Pak Rejo untuk meninggalkan Liwa atau kembali ke Lampung Timur dengan kembali hidup tanpa memiliki apa-apa berjuang dari awal lagi, tetapi pemilik lahan tidak setuju niat tersebut dan menasehati pak Rejo. Si pemilik lahan mengatakan ini tinggal menikmati hasilnya dari perjuangan panjangmu membuka dari belukar, siang malam engkau rawat tanaman itu dengan makan dan tidur seadanya bersama anak istrimu kok malah mau ditinggalkan. Lalu dengan berbagai petimbangan dan juga nasehat dari berbagai pihak ahirnya Pak Rejo memutuskan untuk tetap di Sumberejo Slipas ini. Tuhan selalu memberi jalan setiap mahluknya yang mau berusaha begitu keyakinan pak Rejo lagi, pilihan untuk tetap melanjutkan usaha ternyata tak sia-sia; setelah ditelateni dari hasil beberapa kali panen Pak Rejo bisa membeli tahan 2 Ha yang kemudian ditukarkan dengan sebidang sawah kira-kira seluar 0,5 yang hari ini beliau urus. Pada tahun 1997 catatan baru bagi pak Rejo karena bisa membangun rumah yang ia dan keluarganya tempati hari ini. Sementara lahan 1 Ha yang awalnya diurus oleh Pak Rejo sebagai modal awal memasuki Slipas kini di urus oleh anaknya. Karena ketika hendak di kembalikan ke pemiliknya mareka menolak, dan berharap pak Rejo sebagai pengelola atau setidaknya penanggungjawabnya sampai kapanpun.
Setiap perjuangan pasti akan menemukan hasilnya bila bersungguh-sungguh, begitu pak Rejo melanjutkan ceritanya. Dan pada tahun 1994 kebun yang Pak Rejo urus mulai menampakkan hasil, namun cobaan untuk Pak Rejo rupanya belum berakhir, gempa Liwa berkekuatan 6,5 skala ricter hampir membuyarkan segalanya. Melihat kondisi Lampung Barat yang porak poranda, selalu tergiang tangis pilu para tetangga yang menjadi korban gempa, sempat terucap dari mulut Pak Rejo untuk meninggalkan Liwa atau kembali ke Lampung Timur dengan kembali hidup tanpa memiliki apa-apa berjuang dari awal lagi, tetapi pemilik lahan tidak setuju niat tersebut dan menasehati pak Rejo. Si pemilik lahan mengatakan ini tinggal menikmati hasilnya dari perjuangan panjangmu membuka dari belukar, siang malam engkau rawat tanaman itu dengan makan dan tidur seadanya bersama anak istrimu kok malah mau ditinggalkan. Lalu dengan berbagai petimbangan dan juga nasehat dari berbagai pihak ahirnya Pak Rejo memutuskan untuk tetap di Sumberejo Slipas ini. Tuhan selalu memberi jalan setiap mahluknya yang mau berusaha begitu keyakinan pak Rejo lagi, pilihan untuk tetap melanjutkan usaha ternyata tak sia-sia; setelah ditelateni dari hasil beberapa kali panen Pak Rejo bisa membeli tahan 2 Ha yang kemudian ditukarkan dengan sebidang sawah kira-kira seluar 0,5 yang hari ini beliau urus. Pada tahun 1997 catatan baru bagi pak Rejo karena bisa membangun rumah yang ia dan keluarganya tempati hari ini. Sementara lahan 1 Ha yang awalnya diurus oleh Pak Rejo sebagai modal awal memasuki Slipas kini di urus oleh anaknya. Karena ketika hendak di kembalikan ke pemiliknya mareka menolak, dan berharap pak Rejo sebagai pengelola atau setidaknya penanggungjawabnya sampai kapanpun.
Perjalanan hidup yang dirasa pahit, bukanlah untuk dihindari tetapi harus dijalani dengan banyak-banyak bersyukur. Untuk menambah energi dalam setiap memulai
pekerjaan kerapkali pak Rejo bernazar yang isinya apabila suatu pekerjaan selesai dan ada hasilnya beliau akan beramal. Dan dalam rangka beramal, dari penelusuran tim tersebutlah beberapa bidang tanah yang telah diwakafkan oleh Pak Rejo untuk kepentingan
umum disekitar tempat tinggalnya yaitu:
1.
Tahun 1999 pak Rejo mewakafkan tanah berukuran
13 x 25 M2 (senilai Rp 5 Juta) untuk
tempat pembangunan Musholla di Pemangku Pantau Keluarahan Way Mengaku.
2.
Tahun 2000 Pak Rejo mewakafkan tanah berukuran 30 x 40 M2 (senilai 25 Juta) untuk
tempat pembangunan Masjid di Sumberejo Slipas Kelurahan Way Mengaku.
3.
Tahun 2003 Pak Rejo mewakafkan tanah berukuran
20 x 60 M2 (senilai 30 Juta) untuk tempat pemakaman umum di Sumberjo Slipas
Keluarahan Way Mengaku.
4.
Tahun 2013 tanah berukuran 2,5 x 20 (senilai 11
Juta) untuk dijadikan jalan atau tempat di bangunnya jalan rabat beton kegiatan
PNPM-MPd Keluarahan Way Mengaku TA. 2013.
Ketika tim menanyakan apakah pihak keluarga tidak keberatan
dengan apa yang dilakukan pak Rejo, mengingat bahwa pak Rejo sendiri bukan tergolong orang yang memiliki tanah yang
luas. Beliau menjawab semua keluarga
mendukung, semua mendukung saya seraya mengakatan mumpung kita masih bernyawa
berbuatlah untuk orang banyak semoga kita dapat manfaatnya di akherat. Walaupun dari pengakuannya tidak tamat SD
dan belum pernah hatam Al-quran bagi pak Rejo pesan orang tua yang mengatakan
agar selalu beramal harus di tunjukkan dan tercermin dalam
kehidupannya. Sebagai kepala lingkungan
yang dipercaya oleh masyarakatnya sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu Pak
Rejo tidak sedikitpun memperlihatkan tingkah laku ria/pamer, bahkan bila ada
kesempatan untuk menolong. Maka pilihan untuk menolong itu jalan yang beliau
pilih. Semisal pembagian beras untuk
rumah tangga miskin (Raskin) saat
mengambil beras ke kelurahan pak Rejo selalu membayar terlebih dahulu, baru
kemudian ketika beras sampai di rumah, pak Rejo akan berkeliling untuk
menyampaikan kepada warga agar mengambil beras tersebut dengan harga sesuai ketentuan pemerintah. Bila ada warga yang benar-benar tidak ada
uang maka pak Rejo mempersilakan untuk untuk tetap mengambil beras asalkan berterus terang.
![]() | ||
Rumah Pak Rejo dibangun dari bagi hasil berkebun kopi dan menanam sayuran |
Kembali ke masalah wakaf tanah, lagi-lagi bahwa tanah tersebut bukan dari
kelebihan luas atau diambil dari tanah pak Rejo yang sudah ada, tetapi didapat dengan membeli yang uangnya berasal dari hasil panen sayuran atau sekedar tabungan dari hasil beliau upahan. Khusus untuk tanah yang terakhir
diwakafkan itu di dapat dari tabungan 1 juta dan hasil penjualan sapi peliharaan
seharga10 Juta semuanya untuk membayar tanah yang akan di jadikan jalan lingkungan. Mengakhiri obrolan dengan tim, pak Rejo berucap semoga apa yang beliau
lakukan akan membawa manfaat bagi masyarakat dan menjadi amal beliau di akherat. Kalau suatu saat saya telah tiada saya berharap apa yang sudah saya lakukan bermanfaat. Kata pak
Rejo menutup obrolan ... Makasih Pak Rejo pelajaran untuk terus berjuang, selalu berbagi, dan ikhlas telah kau sampaikan pada kami, semoga ini memberi motivasi.. (Tim)