![]() |
Riyadi Murdoko/FK Kecamatan Pagar Dewa Lampung Barat |
Pagi ini secangkir kopi menemani ku untuk aktifitas hari ini. Secangkir kopi? Apakah pentingnya? Hanya minuman yg hampir semua orang meminumnya.
Sekitar pukul 07.30, Pak Sirman menghidupkan motornya untuk berangkat ke kebon kopinya yang satu hektar lebih dikit. bekal makan siang ada dalam tas lusuhnya. Juga termos kecil terisi kopi panas untuk diminum di sela istirahat nanti. Hari ini adalah jadwal "ngipas" daun kopi. Agar buah2 kopi yang masih kecil dapat tumbuh maksimal menjadi bulir kopi yg besar dan baik. Harapan nilai jualnya baik. Agar hutang2 dapat terbayar, waktu kopi dijual nanti.
Ditempat lain yang tidak begitu jauh seorang terlihat sedang membuka rolingdor di gudang milik Bapak Simamora. Sekilas terlihat tumpukan karung kopi. Ratusan ton keluar masuk dari gudang sipengumpul kopi ini. Gudang yang bersebelah di batasi tembok tokonya yang nyaris serba ada. Yg terlihat pagi ini, hanya Inova dan Fortuner nya terparkir di teras rumahnya. Sang Bos pun sudah bersiap dengan catatan2nya. Catatan2 berisi hutang2 para petani yang kopinya dijual ke si Bos. Dari hutang pupuk, obat2an pertanian, hutang sembako, material rumah sampe hutang uang. "Untung ada si Bos, jadi kami bisa punya modal untuk mengurusi kebun kami" ujar Pak Sirman. Masih untung baginya lagi "saya bisa mengganti seng atap rumah ini, karena sudah banyak yang bocor". Pak Sirman mempertegas.
Hari mulai siang, lewatlah mobil pick up dengan teriak2an si sopir dan kenek berganti2. Mereka menawarkan kasur springbed bagi petani yang barusan panen. Kami dari Metro Mas, kata sopir. Ini kasur juga buatan Metro. Kami sering masuk ke sini, keliling talang-talang. mumpung mereka habis panen. Saya membatin dalam hati, kasur seharga 900 ribu dengan model seperti ini lumayan mahal. Karena tanpa dipannya. Hanya kasur matras. Kata Si sopir lagi yang juga pedagangnya "Kami seminggu yang lalu sampe Basungan. Terpaksa kami menginap di sana. Karena mobil yg satunya terjebak jalan yang sangat becek dan menanjak. Terpaksa kami menyewa mobil hartop untuk menarik mobil itu, atau bisa berapa hari lagi kami harus nginap di sana" Selepas tengah hari, kira2 jam 2 siang.
Kembali suara dari speaker yang terpasang dari kap mobil pickup. Kali ini jualan barang perabotan rumah, seperti panci, baskom, gelas, piring, sendok dll. Yang terbanyak adalah perabotan dari plastik. Harga cukup terjangkau, walau lebih mahal bila dibandingkan dengan harga dari toko di Giham. pasar yg letaknya di pinggir jalan lintas menuju Liwa. Wajar lebih mahal karena jarak dari Cangkah ke Giham lebih dari 17 km.. Tak berani aku mendekat, rasanya agak malu karena yg kumpul ibu2.. Walau hanya ingin dengar si pedagang. Kata Bu Bibah istri Pak Sirman; mereka pedagang dari Fajar dan Sekincau.. Si Pedagang sepertinya mencoba ambil peluang keuntungan dari rezeki panen kopi.
Sore menjelang magrib, lagi2 pedagang masuk ke perkampung ini. Kali ini penjual pakaian. Lagu dangdut koplo distel keras untuk menarik perhatian. Bak mobil pickup di buat atap dari terpal plastik warna biru. Dan di dalamnya ada gantungan untuk menggantungkan pakaian2 yg dihanger dari kawat. Keranjang2 tersusun untuk menempatkan barang2 dagangan itu. Ibu2 berdatangan melihat2 dan mencoba bertanya ttg harga, ukuran, warna dan selanjutnya menawar. Mbak Sum memanggil anak lelakinya yg masih sekolah TK. Dia "mengepaskan" baju bergambar angry bird. Tokoh kartun kesukaan anaknya. Sore itu, dua bungkus dari plastik kresek dia cangkin ke rumah. Sore ini lebih asik lagi kalo aku buat kopi. Sambil duduk di teras, melihat si pedagang pakaian dan tatap binar ibu2 melihat pakaian2 yang didagangkan. Saya ke dapur, untuk membuat kopi. Ku ambil gelas, ku buka rak bagian atas tempat Bu kos biasa menyimpan kopi dan gula. Waah ternyata ada 3 toples besar berisi gula pasir. Dia membelinya tadi pagi, di hari pasaran di Pasar Giham. Menurutnya, "mumpung pegang uang Pak sehabis jual kopi." Saya cuma bilang, "bener bu". Sudah banyak pedagang masuk di kampung yang dulu juga adalah talang. Pedagang mainan, jajanan anak dari arum manis sampe es krim yang bukan walls atau campina.. Pak Mat, dia telah berjanji pada anaknya kedua untuk membelikan hp blackberry. Janji pada anaknya yg telah berhasil masuk SMU Negeri di Giham. Harganya cuma satu juta Pak. Cuma ini yg saya bisa menyenangkan hati anak. Untuk merenovasi rumah, tidak mungkin. Uang hasil panen tidak cukup. Yaa, untuk rumah biarin aja begini. Hasil panen tahun juga untuk membayar hutang2 pupuk dan masuk sekolah si Dwi.
Arah Migrasi Seperti Jaman kolonial. Migrasi penduduk secara musiman telah ada sejak jaman Belanda. Sebelum saya tahu ttg migrasi yg terjadi di Kec. Pagar Dewa atau daerah lain penghasil kopi pada umumnya. Bahwa migrasi musim biasa terjadi pada menjelang perayaan lebaran atau idul adha. Mereka yg berimigrasi adalah pekerja2 pabrik atau karyawan2 dari perusahaan dari darah industri di seputaran Jabodetabek. Tapi sejak saya ditempatkan di Kec. Pagar Dewa migrasi yg terjadi pada bulan2 musim panen kopi. Nach yg terjadi adalah penduduk dari Jawa menjadi pekerja2 pemetik kopi di Lampung. Mirip sekali migrasi pada masa penjajahan kolonial Belanda. Seperti halnya pada bulan Agustus dan September 2013, setiap hari ada saja mobil engkel atau Bus berplat Z. Mobil dari Tasikmaya atau Ciamis Jawa Barat. Mobil2 itu mengangkut org yang akan pulang ke kampung halamannya. Mereka adlah penduduk musiman. Sebagian dari mereka adalah pemilik kebun kopi di sini. Sebagian lagi dari penumpang itu adalah pekerja pemetik kopi yang dibayar borongan. Harga upah metik adalah Rp 50.000 perkarung 50 kg. Sehari bisa 2 atau 3 karung. Tergantung buah dan sulitnya lokasi. Sepanjang maret sampai dengan September setiap tahunnya mereka akan bersusah payah mendaki bukit2 untuk memetik buah kopi.. Tinggal di rumah2 kebun yg minim sekali fasilitas, dan makan menu seadanya yg awet tidak mudah busuk. Ya ikan asin. Sekali2 telur kalo kalo pasaran. Listrik, memang ada dan nmenyala terus karena menggunakan tenaka mikro hidro. Beberapa talang kurang beruntung lagi, signal hp sulit. Harus berad ditempat tertentu kalo ingin menghubungi lewat hp.
Investasi yang menguntungkan bagi Daerah
BRI Sekincau adalah satu2nya Bank yg melayani penduduk dari Kec Sekincau, Pagar Dewa, Batu Ketulis, Sebagian Suoh, BNS, dan sebagaian Way Tenong. Kata Pak Faisal, kepala BRI "Pada musim2 panen begini banyak masyarakat yang menabung. Perhari bisa mencapai hampir satu milyar." Lanjutnya lagi "tapi coba bapak perhatikan, cuma satu minimarket di Sekincau ini. Artinya uang tidak beredar di sini. Tapi keluar ke kampung penduduk2 musiman tadi". Aku membenarkan "iyaa pak, di sini pasaran tidak tiap hari tapi seminggu sekali. Dan itu berpindah2".
Dalam teori ekonominya "bila uang itu tidak keluar dari satu daerah/negara dan berputar cepat tidak mengendap. Maka daerah itu akan akan cepat maju." Lanjutku. Tidak dipungkiri, awalnya aku berpikir. Untuk apa daerah ini dibangun. Kalo sedikit sekali yg memanfaatkan. Toch sebagian dari mereka hanya tinggal kisaran 5 bulanan. Keluarga penduduk musiman itu pun masih tinggal menetap, bersekolah di kampung asalnya. Saya mendengar dari cerita2 diantara mereka, bahwa penduduk musiman itu hidupnya sangat enak di kampungnya. Rumahnya gedong (permanen) dan bagus, sebagian punya mobil, anaknya ada yg kuliah, dll. Di sini saja mereka keliatan susah tapi di kampungnya mereka senang. Ternyata kesimpulanku tidak sepenuhnya benar. Pak kusmana, KPMD Pekon Sukamulya, mengatakan kalo di sini fasilitasnya ada. Sebagian dari mereka akan menjadi penduduk tetap di sini. Tak perlu Mall atau Supermarket Pak. Jalan yang di aspal atau permanen, ada listrik, signal tidak sulit, puskesmas dan rumah sakit mudah dijangkau, ada sekolahan yg baik. Keluarga mereka akan dipindahkan ke sini semua. Aku sedikit menyanggah pernyataan itu "bagi kita utamanya org Jawa, kampung halaman di Jawa seperti apapun terbatasnya fasilitas tetap ingin tinggal di Jawa". Ya, karena saya keturunan Jawa. Hanya sebuah keharusan yg akhirny membuat orang tua saya bertahan di Lampung. Ternyata pernyataan saya ini gugur dengan pernyataan dari Peratin Sukamulya, Bapak Tata...kira2 lebih 10 tahun yang lalu, penduduk yg menetap di sini kurang dari 40 persen. setelah musim panen pekon ini seperti desa mati. Banyak rumah kosong ditinggal penghuninya di bulan2 Oktober sampe bulan Februari. Masih menurutnya " semenjak jalan dari pampangan sampe Srengit (Sidomulyo) di underlagh (telford). Sekarang penduduk menetapnya mencapai 60 persen. Lanjutnya; apa lagi semenjak ada PNPM. Tahun 2012 kami membuat jembatan. Dan itu menghubungkan antar pemangku. Terasa sekali manfaatnya. Minimal org mau dateng ke pasaran di Mekar Sari tidak kesulitan lagi. Mau ke "kota" Sekincau sudah lancar tidak becek berlumpur lagi". Ini sebuah bukti adanya hubungan antara fasilitas yg harus dibangun oleh pemerintah dengan perkembangan suatu daerah dan kesejahteraan masyarakat. Saya teringat game SIM City di PC saya. Sering saya mainkan waktu masa kuliah dulu. Dalam game itu saya berperan sebagai seorang walikota.. Dengan modal yg terbatas saya membangun wilayah yg awal nya kecil dulu. Fasilitas saya bangun dari jalan, rumah sakit, sekolahan, mall, dan tempat hiburan. Dengan fasilitas tersbut akhirnya wilayah saya bangun menarik minat penduduk untuk menetap. Pemasukan saya dapatkan salah satunya dari pajak. Wilayah terus berkembang fasilitas terus bertambah. Termasuk lapangan terbang. Tidaklah berlebihan sekiranya masyarakat meminta fasilitas2 tersebut terpenuhi kepada pemerintah. Karena masy Pagar Dewa bisa menghasilkan ribuan ton kopi setiap tahunnya Artinya milyaran rupiah berasal dari butir2 kopi yang ditanam masyrkat Pgar Dewa. yang tinggal di talang-talang. Dan sebagian kebun mereka ada di daerah kawasan. Hidup tidak nyaman dan merasa was-was karena sewaktu bisa diusir atau diambil alih oleh Dinas Kehutanan.
Mungkin bukan hanya masyrakat Pagar Dewa saja yg nasib bernasib sama. Masih banyak masyrakat pekebun kopi di daerah lain yg nasibnya hampir sama. Dari kopi milyaran rupiah bahkan triliyunan uang beredar. Ribuan orang yg pencahariannya berhubungan dengan kopi. Sederhana saja bagi masyrakat di Pagar Dewa, bahwa mereka ingin kepastian rasa aman untuk menetap dan menggarap lahannya. Lalu mereka ingin berkumpul dengan keluarga mereka. Pagi hari si bapak dan ibu berangkat ke kebun dan anak2 berangkat sekolah. Sore hari semua berkumpul di rumah menikmati kehangatan keluarga dari kepungan hawa dingin Pagar Dewa yg pegunungan..